Jakarta ( MilNas ) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan pidato kenegaraan menyambut peringatan Hari Kemerdekaan Ke-68 RI di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Jumat (16/8). Dalam acara ini, dua ajudan Presiden tampak berdiri di belakang Presiden Yudhoyono. | KOMPAS/Lucky Pransiska
Dalam sejarah Republik ini, karier ajudan yang paling meroket diraih oleh Jenderal (Purn) yang menjadi ajudan Presiden Soeharto tahun 1974 hingga menjadi Panglima ABRI (1988) dan Wakil Presiden (1993). Sosok lain adalah Jenderal (Purn) Wiranto yang menjadi ajudan Presiden Soeharto pada tahun 1989 hingga Panglima ABRI 1998.
Menjadi ajudan selama Orde Baru memang memiliki gengsi tersendiri. Tubagus Hasanuddin yang mantan ajudan BJ Habibie saat menjadi Wakil Presiden dan Presiden mengatakan, selama masa Orde Baru, jabatan ajudan adalah jabatan yang diperebutkan banyak orang karena eksklusif, banyak rezeki, dan akan menempati jabatan strategis di kemudian hari.
Era reformasi
Tren kemudian berubah setelah reformasi. Menurut Hasanuddin, pada era 1999-2004, setelah seseorang bertugas sebagai ajudan, sosok perwira itu kembali meniti karier dengan normal.
Beberapa orang, seperti Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Marsekal (Purn) Imam Sufaat, masing-masing adalah ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Abdurrahman Wahid, pernah menduduki jabatan kepala staf di TNI AD dan TNI AU.
Namun, menurut Hasanuddin, banyak juga ajudan yang meniti karier formal dan kemudian pensiun dengan bintang satu atau dua di pundak.
Belakangan ini, pola bahwa perwira-perwira di sekitar kekuasaan harus terus berada di karier tinggi berulang pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Para ajudannya yang berpangkat kolonel pada masa pemerintahan 2004-2009 kini minimal berpangkat bintang dua dan menduduki jabatan strategis. Mereka adalah Letnan Jenderal M Munir yang saat ini menjadi Wakil KSAD, Asisten Operasi KSAU Marsekal Muda Bagus Puruhito, Asisten Operasi KSAL Laksamana Muda Didit Herdiawan, dan Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno, Kapolda Metro Jaya.
Diprediksi, pangkat mereka akan menjadi bintang tiga dalam waktu dekat. Dari segi karier, ini adalah sebuah loncatan tinggi. Apalagi, kalau dihitung kasar jumlah kolonel di seluruh TNI ada sekitar 4.000 orang, sedangkan bintang tiga tidak sampai lima belas orang. Berarti, probabilitas seorang kolonel menjadi bintang tiga adalah 0,3 persen.
”Polanya berulang lagi, sama seperti zaman Soeharto,” kata Hasanuddin yang mengatakan hal yang sama terjadi pada jabatan sekretaris pribadi, sekretaris militer, atau jajaran pasukan pengamanan presiden.
Sekretaris Militer Presiden Yudhoyono yang saat ini melejit di antaranya Jenderal Budiman yang menjadi KSAD, serta Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Marsda Hadiyan Suminta Atmadja.
Menurut Hasanuddin yang menyeleksi para ajudan Presiden Yudhoyono pada tahun 2004, prosesnya sangat ketat. Beberapa hal dipertimbangkan, mulai dari postur, tes psikologi, tes kecerdasan, dan wawancara untuk mengetahui karakter seperti loyalitas dan tidak bergosip. Dari segi karier militer, para kandidat juga harus punya prestasi dan kompetensi, yaitu minimal pernah memimpin pasukan setingkat brigade.
Sesuai dengan konstitusi, presiden adalah panglima tertinggi TNI. Dengan demikian, ketika karier dari orang-orang yang dikenal dan dipercaya presiden itu melejit, Hasanuddin menilainya sebagai kewajaran dan sesuatu yang manusiawi.
Sistem pembinaan karier
Masalah lain muncul ketika yang didengungkan TNI adalah soal profesionalisme yang berarti berkaitan dengan sistem pembinaan karier yang adil dan menghargai prestasi.
Hari Prihartono dari Propatria mengatakan, sistem kedekatan ini merusak pembinaan karier atau merit system. Kriteria untuk seseorang menjadi jenderal menjadi rancu, antara kemampuan protokoler, administrasi, dan substansi plus kedekatan, atau kemampuan lapangan dan mengatasi peperangan.
Menurut dia, asal kata ajudan dari bahasa Perancis, yaitu Aide de camp—pembantu di barak, kriteria yang dibutuhkan adalah petugas administrasi.
”Di Perancis, ajudan itu bukan prajurit tempur atau yang jago di ilmu militer, tetapi yang jago di bidang ekonomi atau sosial. Selesai dari ajudan, mereka ke tugas lain yang sesuai kompetensinya itu,” kata Hasanuddin.
Hari mengatakan, di atas kertas selalu disebutkan kalau militer Indonesia itu terintegrasi antara darat, laut, dan udara. Di sisi lain, ada kriteria ancaman dan geopolitik. Ia mencontohkan, belakangan ini ada penekanan pada kemaritiman.
Hal ini, menurut dia, harus menjadi kriteria dalam memilih perwira tinggi untuk menduduki jabatan strategis. Ketika presiden menentukan jenis ancaman serta strategi untuk mengatasinya ditinjau dari kapasitas anggaran dan kemampuan, untuk mencapainya, diperlukan pelaksana teknis. Pelaksana ini di antaranya jajaran teras di TNI.
”Oleh karena itu, jenderal- jenderal yang dipilih harus jelas punya kapabilitas dan track record yang menunjang jabatannya,” kata Hari.
DPR dan Menhan
Berantakannya turunan antara kebijakan politik dan pelaksanaannya ini, menurut Hari, secara tidak langsung tecermin dari hubungan antara DPR dan eksekutif, dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan TNI. Ketidakjelasan turunan antara strategi politik presiden dan teknis militer membuat ada ruang-ruang yang dinegosiasikan.
Menurut Hari, hal ini membuat eksekutif terlalu didikte oleh parlemen. Salah satu contoh nyata adalah uji kelayakan Panglima TNI. Padahal, soal strategi pertahanan, pengembangan kekuatan pertahanan seharusnya sudah jadi kesepakatan bersama yang permanen dan bertahan melewati rezim.
Hasanuddin juga melihat, buruknya merit system terlihat dari proses pemilihan Panglima TNI yang tergesa-gesa. Contoh mutakhir adalah Jenderal Moeldoko yang diajukan menjadi Panglima TNI hanya dua bulan setelah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Hal ini, menurut Hasanuddin, sebagai masalah sistem, bukan personal. Untuk membuat sistem yang bagus dan menjadi pemimpin yang matang, minimal dibutuhkan masa tugas dua tahun untuk kepala staf.
Dalam hal karier ajudan juga, menurut dia, harus ada sistem yang baku untuk perekrutan dan kejelasan antara kedekatan dan kemampuan untuk pengembangan karier perwira hingga perwira tinggi.
Perbaikan sistem pembinaan karier TNI ini tentunya juga bukan hanya kepentingan internal TNI semata. Sebagai pemilik TNI, rakyat berhak mendapatkan jenderal yang tidak hanya bisa mengatasi ancaman kontemporer yang kian kompleks, tetapi juga harus bisa mengubah ancaman menjadi keunggulan bangsa.(Edna C Pattisina)
Ajudan adalah sosok yang selalu harus berada di samping presiden dalam hampir setiap kesempatan. Tidak heran, ada kedekatan emosional dan pribadi di antara keduanya. Kalau kemudian karier ajudan itu meroket bahkan sampai jenderal, hal ini sebenarnya manusiawi. Apalagi, ajudan adalah perwira-perwira terpilih.
Dalam sejarah Republik ini, karier ajudan yang paling meroket diraih oleh Jenderal (Purn) yang menjadi ajudan Presiden Soeharto tahun 1974 hingga menjadi Panglima ABRI (1988) dan Wakil Presiden (1993). Sosok lain adalah Jenderal (Purn) Wiranto yang menjadi ajudan Presiden Soeharto pada tahun 1989 hingga Panglima ABRI 1998.
Menjadi ajudan selama Orde Baru memang memiliki gengsi tersendiri. Tubagus Hasanuddin yang mantan ajudan BJ Habibie saat menjadi Wakil Presiden dan Presiden mengatakan, selama masa Orde Baru, jabatan ajudan adalah jabatan yang diperebutkan banyak orang karena eksklusif, banyak rezeki, dan akan menempati jabatan strategis di kemudian hari.
Era reformasi
Tren kemudian berubah setelah reformasi. Menurut Hasanuddin, pada era 1999-2004, setelah seseorang bertugas sebagai ajudan, sosok perwira itu kembali meniti karier dengan normal.
Beberapa orang, seperti Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Marsekal (Purn) Imam Sufaat, masing-masing adalah ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Abdurrahman Wahid, pernah menduduki jabatan kepala staf di TNI AD dan TNI AU.
Namun, menurut Hasanuddin, banyak juga ajudan yang meniti karier formal dan kemudian pensiun dengan bintang satu atau dua di pundak.
Belakangan ini, pola bahwa perwira-perwira di sekitar kekuasaan harus terus berada di karier tinggi berulang pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Para ajudannya yang berpangkat kolonel pada masa pemerintahan 2004-2009 kini minimal berpangkat bintang dua dan menduduki jabatan strategis. Mereka adalah Letnan Jenderal M Munir yang saat ini menjadi Wakil KSAD, Asisten Operasi KSAU Marsekal Muda Bagus Puruhito, Asisten Operasi KSAL Laksamana Muda Didit Herdiawan, dan Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno, Kapolda Metro Jaya.
Diprediksi, pangkat mereka akan menjadi bintang tiga dalam waktu dekat. Dari segi karier, ini adalah sebuah loncatan tinggi. Apalagi, kalau dihitung kasar jumlah kolonel di seluruh TNI ada sekitar 4.000 orang, sedangkan bintang tiga tidak sampai lima belas orang. Berarti, probabilitas seorang kolonel menjadi bintang tiga adalah 0,3 persen.
”Polanya berulang lagi, sama seperti zaman Soeharto,” kata Hasanuddin yang mengatakan hal yang sama terjadi pada jabatan sekretaris pribadi, sekretaris militer, atau jajaran pasukan pengamanan presiden.
Sekretaris Militer Presiden Yudhoyono yang saat ini melejit di antaranya Jenderal Budiman yang menjadi KSAD, serta Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Marsda Hadiyan Suminta Atmadja.
Menurut Hasanuddin yang menyeleksi para ajudan Presiden Yudhoyono pada tahun 2004, prosesnya sangat ketat. Beberapa hal dipertimbangkan, mulai dari postur, tes psikologi, tes kecerdasan, dan wawancara untuk mengetahui karakter seperti loyalitas dan tidak bergosip. Dari segi karier militer, para kandidat juga harus punya prestasi dan kompetensi, yaitu minimal pernah memimpin pasukan setingkat brigade.
Sesuai dengan konstitusi, presiden adalah panglima tertinggi TNI. Dengan demikian, ketika karier dari orang-orang yang dikenal dan dipercaya presiden itu melejit, Hasanuddin menilainya sebagai kewajaran dan sesuatu yang manusiawi.
Sistem pembinaan karier
Masalah lain muncul ketika yang didengungkan TNI adalah soal profesionalisme yang berarti berkaitan dengan sistem pembinaan karier yang adil dan menghargai prestasi.
Hari Prihartono dari Propatria mengatakan, sistem kedekatan ini merusak pembinaan karier atau merit system. Kriteria untuk seseorang menjadi jenderal menjadi rancu, antara kemampuan protokoler, administrasi, dan substansi plus kedekatan, atau kemampuan lapangan dan mengatasi peperangan.
Menurut dia, asal kata ajudan dari bahasa Perancis, yaitu Aide de camp—pembantu di barak, kriteria yang dibutuhkan adalah petugas administrasi.
”Di Perancis, ajudan itu bukan prajurit tempur atau yang jago di ilmu militer, tetapi yang jago di bidang ekonomi atau sosial. Selesai dari ajudan, mereka ke tugas lain yang sesuai kompetensinya itu,” kata Hasanuddin.
Hari mengatakan, di atas kertas selalu disebutkan kalau militer Indonesia itu terintegrasi antara darat, laut, dan udara. Di sisi lain, ada kriteria ancaman dan geopolitik. Ia mencontohkan, belakangan ini ada penekanan pada kemaritiman.
Hal ini, menurut dia, harus menjadi kriteria dalam memilih perwira tinggi untuk menduduki jabatan strategis. Ketika presiden menentukan jenis ancaman serta strategi untuk mengatasinya ditinjau dari kapasitas anggaran dan kemampuan, untuk mencapainya, diperlukan pelaksana teknis. Pelaksana ini di antaranya jajaran teras di TNI.
”Oleh karena itu, jenderal- jenderal yang dipilih harus jelas punya kapabilitas dan track record yang menunjang jabatannya,” kata Hari.
DPR dan Menhan
Berantakannya turunan antara kebijakan politik dan pelaksanaannya ini, menurut Hari, secara tidak langsung tecermin dari hubungan antara DPR dan eksekutif, dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan TNI. Ketidakjelasan turunan antara strategi politik presiden dan teknis militer membuat ada ruang-ruang yang dinegosiasikan.
Menurut Hari, hal ini membuat eksekutif terlalu didikte oleh parlemen. Salah satu contoh nyata adalah uji kelayakan Panglima TNI. Padahal, soal strategi pertahanan, pengembangan kekuatan pertahanan seharusnya sudah jadi kesepakatan bersama yang permanen dan bertahan melewati rezim.
Hasanuddin juga melihat, buruknya merit system terlihat dari proses pemilihan Panglima TNI yang tergesa-gesa. Contoh mutakhir adalah Jenderal Moeldoko yang diajukan menjadi Panglima TNI hanya dua bulan setelah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Hal ini, menurut Hasanuddin, sebagai masalah sistem, bukan personal. Untuk membuat sistem yang bagus dan menjadi pemimpin yang matang, minimal dibutuhkan masa tugas dua tahun untuk kepala staf.
Dalam hal karier ajudan juga, menurut dia, harus ada sistem yang baku untuk perekrutan dan kejelasan antara kedekatan dan kemampuan untuk pengembangan karier perwira hingga perwira tinggi.
Perbaikan sistem pembinaan karier TNI ini tentunya juga bukan hanya kepentingan internal TNI semata. Sebagai pemilik TNI, rakyat berhak mendapatkan jenderal yang tidak hanya bisa mengatasi ancaman kontemporer yang kian kompleks, tetapi juga harus bisa mengubah ancaman menjadi keunggulan bangsa.(Edna C Pattisina)
● Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar